MAKALAH KELOMPOK 9
ILMU KALAM
Disusun dan Disampaikan Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dr. H. FAHMI DAMANG, M.A.
IAIN PALOPO
FAKULTAS TARBIYAH dan ILMU KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PALOPO
TA;
2015/2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami
rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikam makalah
yang berjudul “ Manusia,Keragaman dan Kesetaraan“ ini dengan sesuai rencana.
Makalah ini bertujuan untuk melatih ketajaman berfikir dan kekompakan dalam
kelompok untuk menyatukan beberapa pemikiran yang berbeda menjadi makalah yang
baik
Kami menyadari
bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
pembaca sangatlah diharapkan, atas kritik dan sarannya kami mengucapkan terima
kasih.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dengan latar belakang pendidikan,
pengalaman serta motivasinya yang kuat untuk memajukan dunia islam, Muhammad
Abduh tidak hanya memiliki pemikiran pendidikan yang bercorak modern, melainkan
juga memiliki pemikiran dalam banyak bidang seperti pemikiran mengenai kemajuan
dan kemunduran umat, politik, teologi
dan filsafat. Selain itu, corak pemikiran pendidikan Muhammad Abduh juga
berdasar pada pemikiran teologi rasional, filsafat dan sejarah. Dengan dasar
dan corak pemikirannya yang demikian itu, maka beliau dapat mengemukakan
gagasan dan pemikirannya dengan cara yang segar dan sesuai dengan perkembangan
zaman pada waktu itu. Untuk itulah dalam pembahasan selanjutnya akan kami bahas
mengenai pemikiran dari tokoh pembaharu ini khususnya dalam bidang
kemajuan-kemunduran umat, pemikirannya mengenai teologi, dan yang terakhir
adalah mengenai pembaharuanya dalam bidang pendidikan.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Muhammad
Abduh ?
2. Bagaimakah Pendapat Muhammad Abduh
mengenai kemunduran umat islam pada saat itu, dan bagaimana pula cara Abduh
untuk memajukan umat dari kemunduran?
3. Apakah yang digagas Muhammad Abduh mengenai
teologi ?
4. Dan Apa sajakah gagasan Muhammad
Abduh untuk memajukan pendidikan ?
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya
adalah Muhammad Abduh Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nasr, Syibrakhit, Provinsi
Buhairah Mesir. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang
telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab
yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Abduh Hasan
Khairullah kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa
itu dan ketika ia menetap di Mahallat Nasr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan
dan gendongan ibu. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan
desa di bawah asuhan ibu bapa yang tak ada hubungannya dengan didikan sekolah,
tetapi mempunyai jiwa agama yang teguh. Ia dikirim oleh ayahnya ke Tanta untuk
belajar agama di masjid Syekh Ahmad pada tahun 1862.[1][1]
Setelah menikah, ia dididik oleh
Syekh Darwisy Khadr yang telah mengubah jalan hidup Abduh yang tadinya enggan
menuntut ilmu menjadi orang yang suka akan buku-buku dan ilmu pengetahuan. Pada
tahun 1866, ia meneruskan studinya ke al-Azhar. Di tempat inilah ia bertemu
dengan jamaluddin al-Afghani, tokoh Pan-Islamisme. Kepadanyalah Abduh berguru.
Ia mulai belajar filsafat kepada Afghani, demikian juga politik.
Lulus dari al-Azhar, ia kemudian
menjadi pengajar di lembaga itu. Ilmu-ilmu yang diajarkannya, menurut Ahmad
Amin, adalah logika, teologi dan filsafat. Selain di al-Azhar, ia juga mengajar
di Darul Ulum, ia memegang mata pelajaran sejarah dan buku yang dipakainya
adalah Mukaddimah Ibn Khaldun. Di rumahnya, ia mengajarkan etika dengan memakai
buku Tahzibul Akhlaq karya filosof Ibn Maskawih.
Dari ilmu-ilmu yang diajarkannya,
terlihat bahwa pengetahuannya tidak terbatas hanya pada ilmu keagamaan, tetapi
teologi, filsafat, logika, dan sejarah Eropa, yang diperolehnya melalui
bacaan-bacaan di luar universitas itu, terutama di bawah bimbingan Jamalludin
al-Afghani.
Di masa itu ia telah menulis
karangan-karangan untuk harian al-Ahram yang pada waktu itu baru saja
didirikan. Tulisannya mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan, sastra Arab,
politik, agama, dan sebagainya.
Atas pengaruh Jamaluddin al-Afghani,
Abduh juga terlibat dalam kegiatan politik. Pada waktu pemerintah Inggris dan
Prancis mulai turut campur dalam pemerintahan Mesir, Afghani melakukan
perlawanan. Ia bangkitkan semangat cinta tanah air rakyat Mesir. Kemudian ia
bentuk Partai Nasional Mesir.
Karena tidak disukai penguasa Mesir,
Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879. Abduh dijatuhi tahanan kota di luar
Kairo, tetapi berkat usaha Perdana Menteri Riad Pasya, setahun kemudian ia
kembali ke kairo dan tidak lama kemudian diangkat menjadi pemimpin redaksi
al-Waqa’i al-Mishriyah, semacam koran negara.
Pada tahun 1884, ia bersama Afghani
mendirikan majalah al-Urwatul Wutsqa walaupun umurnya tidak lama. Di tahun 1899
ia diangkat menjadi mufti Mesir sampai wafatnya tahun 1905.
Kehausan Abduh akan ilmu pengetahuan
mendorongnya untuk selalu memperluas cakrawala pengetahuannya. Pada usia 44
tahun, ia mempelajari bahasa Prancis untuk mempelajari pengetahuan yang
berkembang di Barat. Bahasa itu dapat ia kuasai dengaan baik. Ia melihat bahwa
untuk memperoleh ilmu pengetahuan Barat, seseorang perlu mengetahui bahasa yang
berpengaruh di Eropa. Bahkan ia mengatakan bahwa orang yang tidak mengetahui
salah satu bahasa Eropa di zaman modern ini tidaklah bisa disebut ulama.
Setelah mempelajari bahasa Prancis,
ia banyak membaca buku-buku Prancis dalam filsafat, sosiologi, pendidikan, ilmu
jiwa, etika, matematika, ilmu alam, sejarah, dan pemikiran-pemikiran para
orientalis tentang islam.[2][2]
B. Pemikiran-Pemikiran Muhammad Abduh
Kemajuan dan Kemunduran Umat
Menurut Abduh, sebab yang membawa
kemunduran adalah paham jumud yang terdapat di kalangan umat islam. Sikap ini
dibawa oleh orang-orang bukan Arab yang kemudian merampas kekuasaan politik
dunia islam. Dengan masuknya mereka ke dalam islam, adat istiadat dan animism
mereka turut pula mempengaruhi umat islam yang mereka perintah. Disamping itu
mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti
yang dianjurkan dalam islam, melainkan berasal dari bangsa yang jahil dan tidak
kenal pada ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu
pengetahuan akan membuka mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohan
agar mudah di perintah. Di dalam islam, mereka bawa ajaran-ajaran yang akan
membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti pujaan yang berlebihan pada
syeikh dan wali, kepatuhan buta pada ulama, taklid pada ulama-ulama terdahulu
dan tawakal, serta penyerahan segala-galanya pada qada dan qadar. Dengan
demikian, mebekulah akal dan berhentilah pemikiran dalam islam.
Menurut
John L. Esposito, landasan utama pemikiran Abduh adalah keyakinan bahwa wahyu
dan akal pada dasarnya selaras. Karena akal itu satu dengan fitrah, yang
denganya Tuhan telah menjadikan sifat dasar manusia selaras dengan agama.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal yang
terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memperoleh jalan yang membawa pada
kemajuan, dan pemikiran akan menimbulkan ilmu pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan modern yang banyak berdasarkan hukum alam tidaklah bertentangan
dengan islam yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Tuhan, dan wahyu juga
berasal dari Allah SWT. karena keduanya berasal dari Tuhan, ilmu pengetahuan
yang beradsar pada hukum alam dan islam yang berdasar pada wahyu, tak mungkin bertentangan,
dan islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern, begitupun sebaliknya[3][3].
Teologi
Abduh
Dalam
bukunya Risalah al-Tauhid[4][4], Abduh menyatakn bahwa manusia mewujudkan perbuatanya dengan
kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan diatasnya masih ada
kekuatan yang lebih tinggi. Analisis penulis Barat menyatakan bahwa kemunduran
umat islam akibat paham jabariyah (fatalism) dapat ia setujui, karena di
kalangan awam islam, paham yang demikian masih dianut. Paham qada dan qadar
telah diselewengkan menjadi fatalme, sedangkan paham itu sebenarnya mengandung
paham yang dinamis membawa umat pada kemajuan. Dengan demikian paham fatalisme
yang terdapat di kalangan umat perlu di hapuskan dengan paham kebebasan manusia
dalam kemauan dan perbuatan.
Pendapat
Abduh mengenai perbuatan manusia adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang
berpikir dan berikhtiar dalam amal perbuatanya menurut petunjuk pikiranya.
Dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas karena ia memiliki
pikiran untuk menentukan pilihan dalam perbuatanya. Dan pilihan perbuatan yang
dilakukan manusia akan menimbulkan konsekuensi, yakni jika perbuatan itu baik diberi
pahala, dan jika perbuatan itu jahat pelakunya akan memperoleh siksa. Karena
manusia menurut hukum alam atau sunnah Allah mempunyai kebebasan dalam kemauan
dan daya untuk wujudkan kemauan itu, paham perbuatan yang dipaksakan atas
manusia atau jabariyah tidak sejalan dengan pandangan Abduh. Manusia menurut
Abduh adalah manusia, semata-mata karena ia mempunyai kebebasan dalam memilih.
Oleh karena itu, pemberian wujud bagi manusia tidak termasuk paksaan berbuat.
Wahyu
dalam teologi Abduh mempunyai dua fungsi pokok. Fungsi pokok pertama timbul
dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh mati.
Keyakinan akan adanya hidup kedua setelah hidup pertama ini bukan hasil dari
pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan, karena umat
manusia sepakat bahwa jiwa akan tetap hidup sesudah ia meninggalkan tubuh.
Fungsi kedua, wahyu mempunyai kaitan yang erat dengan sifat dasar manusia
sebagai makhluk social. Untuk menatur manusia dengan baik, dikirimlah nabi ke
permukaan bumi untuk mengatur hidupnya di dunia dan untuk dapat mengetahui
keadaan hidupnya di akhirat nanti.
Dengan demikian wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat dan
keadaan hidup manusia disana. Sekalipun semua itu sulit bagi akal untuk
memahaminya, tetapi akal dapat menerima adanya hal-hal itu.
Dalam
hal sifat Tuhan, Abduh berpendapat bahwa Tuhan tidak bersifat, sifat bagi Abduh
termasuk esensi Tuhan. Kalau Tuhan masih memerlukan sesuatu yang berada di luar
dzatnya, yakni sifat-sifat, berate sesuatu yang lebih tinggi dari pada dzat
Tuhan. Bagi paham Mu’tazilah, hanya manusia yang berhajat kepada sifat,
misalnya ilmu dan lain-lain, karena tidak sempurnanya manusia. Jika Tuhan juga
demikian keadaanya, menurut Mu’tazilah, berate Tuhan merupakan dzat yang tidak
sempurna karena Ia berhajat kepada ilmu sebagai sifat yang berada di luar
dzat-Nya[5][5].
Pemikiran
Pendidikan Muhammad Abduh
Pemikiranya dalam bidang pendidikan
lebih banyak difokuskan pada masalah menghilangkan dikotonomi pendidikan,
menghilangkan kelembagaan pendidikan, pengembangan kurikulum dan metode
pengajaran. Adapun gagasanya sebagai berikut[6][6].
1. Menghilangkan Dikotonomi Pendidikan
Menurut Muhammad Abduh, bahwa
diantara factor yang membawa kemunduran dunia islam adalah karena adanya pandangan
dikotonomis yang dianut oleh umat islam, yakni dikotonomi atau pertentangan
antara ilmu agama dan ilmu umum. Berbagai lembaga pendidikan islam di dunia
pada umumnya hanya mementingkan ilmu agama, dan kurang mementingkan ilmu umum.
Menurut Muhamad Abduh, corak pendidikan yang demikian itu lebih banyak
berdampak negative dalam dunia pendidikan. System madrasah lama akan
menghasilkan ahli ilmu agama, sedangkan sekolah pemerintah mengeluarkan tenaga
ahli ilmu yang tidak mempunyai visi dan wawasan keagamaan. Keadaan ini mirip
dengan yang terjadi di Indonesia sebelum tahuan 70an. Yakni pada waktu itu
madrasah yang bernaung dibawah Departemen (sekarang kementrian) agama hanya
mengajarkan ilmu agama, sedangkan sekolah yang berada di bawah kementrian
Pendidikan Nasional kurang mementingkan agama.
Untuk mengatasi masalah dikotonomi
yang demikian itu, Muhammad Abduh mengusulkan agar dilakukan lintas disiplin
ilmu antar kurukulum madrasah dan sekolah, sehingga jurang pemisah antara kaum
ulama dan ilmuan modern akan hilang. Gagasanya ia terapkan di Universitas
Al-Azhar, yaitu dengan melakukan penataan kembali struktur pendidikan di
Al-Azhar, yang kemudian dilanjutkan pada lembaga pendidikan yang berada di
Thanta, Dassus, Dimyat, Iskandariyah, dan lainya. Dengan usahanya ini, berharap
berbagai lembaga pendidikan di Negara lainya dapat mengikutinya, karena
Universitas Al-Azhar pada waktu itu merupakan lembang dan panutan pendidikan di
Mesir khusunya, dan di dunia islam pada umumnya.
2. Pengembangan Kelembagaan Pendidikan
Dalam upayanya mengembangkan
kelembagaan pendidikan, Muhammad Abduh mendirikan sekolah menengah pemerintah
untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai bidang yang dibutuhkan, yaitu
bidang administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Melalui
berbagai lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh berupaya memasukkan pelajaran
agama, sejarah dan kebudayaan islam.
Selain itu, madrasah-madrasah yang
berada di bawah naungan Al-Azhar, Muhammad Abduh menganjarkan ilmu Manthiq,
Falsafah dan Tauhid. Hal ini merupakan gagasan baru, karena sebelumnya Al-Azhar
memandang ilmu Manthiq dan Falsafah itu sebagai barang haram. Selain itu, di
rumahnya Muhammad Abduh juga mengajarkan kitab Tahzib al-Akhlaq karangan Ibn Maskawih, serta kitab Sejarah Peradaban Eropa yang telah di
terjemahkan kedalam bahasa Arab, karangan seorang Prancis dengan judul al-Tuhfat al-Adaabiyah fi Tarikh Tamaddun
al-Mamalik al-Awribiyah.
3. Pengembangan Kurikulum
Muhammad Abduh melakukan
pengembangan kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Kejuruan, serta
Universitas di Al-Azhar. Pengembangan tersebut dapat dikemukakan secara singkat
sebagai berikut.
a.
Pengembangan
Kurikulum Sekolah Dasar
Menurut Muhammad Abduh bahwa dasar
pembentukan jiwa agama hendaknya dilakukan sejak masa kanak-kanak. Oleh karena
itu, mata pelajaran agama agar dijadikan pelajaran wajib pada semua mata
pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama islam
merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa dan
pribadi muslim, maka rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan
nasionalisme yang selanjutnya dapat menjadi dasar bagi pengembangan sikap hidup
yang lebih baik , dan sekaligus dapat meraih kemajuan[7][7].
b. Pengembangan Kurikulum Sekolah Menengah
dan Sekolah Kejuruan
Pengembangan Kurikulum Sekolah
Menengah dan Sekolah Kejuruan dilakukan dengan memasukan mata pelajaran Manthiq
dan Falsafah yang sebelumnya tidak boleh di ajarkan. Selain itu, dimasukan pula
pelajaran tentang sejarah dan peradaban islam dengan tujuan agar umat islam
dapat mengetahui berbagai kemajuan dan keunggulan yang pernah di capai dunia
islam di masa silam, sebagai pemicu bagi lahirnya kebanggan terhadap islam
serta semangat untuk membangun kembali kejayaan umat islam.
c.
Pengembangan
Kurikulum Universitas Al-Azhar
Pengembangan Kurikulum Universitas
Al-Azhar dilakukan dengan cara menyesuaikan kebutuhan masyarakat pada waktu itu
dengan para lulusan pendidikan, yakni orang-orang yang dapat berpikir kritis,
komperhesif, progrsif, dan seimbang tentang ajaran islam, yaitu para ulama yang
intelek atau dengan kata lain menjadi ulama yang modern. Berkaitan dengan ini,
maka Muhammad Abduh mengusulkan untuk dimasukanya mata kuliah filsafat, logika
dan ilmu pengetahuan modern kedalam kurikulum Universitas Al-Azhar.
4. Pengembangan Metode Pengajaran
Menurut Muhammad Abduh bahwa metode
pengajaran yang selama ini hanya mengandalkan hafalan perlu di lengkapi dengan
metode rasional dan pemahaman (insight). Dengan demikian, di samping para siswa
menghafal suatu bahan pengajaran, juga dapat memahaminya dengan kritis,
objektif dan komperhesif. Berkenaan dengan ini, Muhammad Abduh mengusukan agar
menghidupkan kembali metode munadzarah (diskusi)
dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan diri dari metode taklid buta terhadap
para ulama. Selain itu, juga mengembangkan kebebasan ilmiah di kalangan
Mahasiswa Al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya
menjadi ilmu yang tidak berkembang menjadi ilmu yang berkembang dan dapat dipergunakan
untuk menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern ke dalam bahasa Arab[8][8].
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada pembahasan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :
Pertama, Muhammad Abduh dapat di kategorikan
sebagai ulama yang intelek atau ulama modern yang berupaya ingin memajukan
dengan mengembalikan kembali kejayaan umat islam agar siap menghadapi tantangan
zaman, dengan cara menijau kembali pemahaman ajaran islam agar sesuai dengan
perkembangan zaman.
Kedua, disamping memiliki perhatian
terhadap masalah ummat dan teologi, Muhammad Abduh juga memiliki perhatian yang
besar dalam dunia pendidikan.
Ketiga, menurut Muhammad Abduh alasan
kemunduran umat adalah karena paham jumud dan keyakinan yang salah mengenai
qada dan qadar, dan untuk membebaskan umat islam dari kemunduran inilah Abduh
menggagaskan untuk memfungsikan akal dan wahyu untuk membebaskan diri dari
taklid yang berlebihan.
Keempat,
pandangan Abduh mengenai teologi bahwasanya manusia memiliki kehendak bebas
untuk menentukan dirinya dalam berbuat. Ia berhak atas dirinya sendiri, dia
(manusia) akan memperoleh pahala bila memilih menjadi baik, dan akan mendapat
siksa bila ia memilih perbuatan buruk. Baginya, wahyu dan akal tidaklah
bertentangan, fungsi wahyu disini adalah untuk menjelaskan hal-hal yang sulit
di terima oleh akal.
Kelima, gagasan dan pemikiran Muhammad Abduh
dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan dengan mengintegrasikan ilmu
agama dan ilmu modern, pembaruan dan pengembangan kelembagaan pendidikan,
pengembangan kurikulum dan metode pengajaran
Daftar Pustaka
Nata, Abbudin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta
: Raja Grafindo Persada.
Aziz, Ahmad Amir. 2009. PEMBARUAN TEOLOGI : Perspektif Modernisme
Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman. Yogyakarta : Teras.
Nasution, Harun. 1975. Pembaruan
Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Saefuddin, Didin. 2003. Pemikiran
Modern dan Postmodern Islam : Biografi Intelektual 17 Tokoh. Jakarta : PT
Grasindo.
Sani, Muhammad. 1998. Lintas Sejarah Pemikiran Modern dalam Islam.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
.
[1][1] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 49-50.
[3][3] Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan
Postmodern Islam : Biografi Intelektual 17 Tokoh, (Jakarta: PT Grasindo,
2003), hlm.21-23.
[5][5] Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan
Postmodern Islam : Biografi Intelektual 17 Tokoh, (Jakarta: PT Grasindo,
2003), hlm.24-28.
[6][6] Abuddin
Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan
Barat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.308-309.
[7][7] Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern
dalam Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.53.
[8][8] Abuddin
Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan
Barat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.311-312.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar