Jumat, 25 Maret 2016

syekh muhammad abduh






MAKALAH KELOMPOK 9
ILMU KALAM
Syekh Muhammad Abduh
Disusun dan Disampaikan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu :  Dr. H. FAHMI DAMANG, M.A.

IAIN PALOPO





FAKULTAS TARBIYAH dan ILMU KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO
                                            TA; 2015/2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami rahmat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikam makalah yang berjudul “ Manusia,Keragaman dan Kesetaraan“ ini dengan sesuai rencana. Makalah ini bertujuan untuk melatih ketajaman berfikir dan kekompakan dalam kelompok untuk menyatukan beberapa pemikiran yang berbeda menjadi makalah yang baik
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangatlah diharapkan, atas kritik dan sarannya kami mengucapkan terima kasih.















PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dengan latar belakang pendidikan, pengalaman serta motivasinya yang kuat untuk memajukan dunia islam, Muhammad Abduh tidak hanya memiliki pemikiran pendidikan yang bercorak modern, melainkan juga memiliki pemikiran dalam banyak bidang seperti pemikiran mengenai kemajuan dan kemunduran umat,  politik, teologi dan filsafat. Selain itu, corak pemikiran pendidikan Muhammad Abduh juga berdasar pada pemikiran teologi rasional, filsafat dan sejarah. Dengan dasar dan corak pemikirannya yang demikian itu, maka beliau dapat mengemukakan gagasan dan pemikirannya dengan cara yang segar dan sesuai dengan perkembangan zaman pada waktu itu. Untuk itulah dalam pembahasan selanjutnya akan kami bahas mengenai pemikiran dari tokoh pembaharu ini khususnya dalam bidang kemajuan-kemunduran umat, pemikirannya mengenai teologi, dan yang terakhir adalah mengenai pembaharuanya dalam bidang pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Muhammad Abduh ?
2.      Bagaimakah Pendapat Muhammad Abduh mengenai kemunduran umat islam pada saat itu, dan bagaimana pula cara Abduh untuk memajukan umat dari kemunduran?
3.       Apakah yang digagas Muhammad Abduh mengenai teologi ?
4.      Dan Apa sajakah gagasan Muhammad Abduh untuk memajukan pendidikan ?
   
PEMBAHASAN

A.    Biografi Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh Hasan Khairullah. Dilahirkan  di desa Mahallat Nasr, Syibrakhit, Provinsi Buhairah Mesir. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Abduh Hasan Khairullah kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa itu dan ketika ia menetap di Mahallat Nasr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan dan gendongan ibu. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu bapa yang tak ada hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa agama yang teguh. Ia dikirim oleh ayahnya ke Tanta untuk belajar agama di masjid Syekh Ahmad pada tahun 1862.[1][1]
Setelah menikah, ia dididik oleh Syekh Darwisy Khadr yang telah mengubah jalan hidup Abduh yang tadinya enggan menuntut ilmu menjadi orang yang suka akan buku-buku dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1866, ia meneruskan studinya ke al-Azhar. Di tempat inilah ia bertemu dengan jamaluddin al-Afghani, tokoh Pan-Islamisme. Kepadanyalah Abduh berguru. Ia mulai belajar filsafat kepada Afghani, demikian juga politik.
Lulus dari al-Azhar, ia kemudian menjadi pengajar di lembaga itu. Ilmu-ilmu yang diajarkannya, menurut Ahmad Amin, adalah logika, teologi dan filsafat. Selain di al-Azhar, ia juga mengajar di Darul Ulum, ia memegang mata pelajaran sejarah dan buku yang dipakainya adalah Mukaddimah Ibn Khaldun. Di rumahnya, ia mengajarkan etika dengan memakai buku Tahzibul Akhlaq karya filosof Ibn Maskawih.
Dari ilmu-ilmu yang diajarkannya, terlihat bahwa pengetahuannya tidak terbatas hanya pada ilmu keagamaan, tetapi teologi, filsafat, logika, dan sejarah Eropa, yang diperolehnya melalui bacaan-bacaan di luar universitas itu, terutama di bawah bimbingan Jamalludin al-Afghani.
Di masa itu ia telah menulis karangan-karangan untuk harian al-Ahram yang pada waktu itu baru saja didirikan. Tulisannya mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan, sastra Arab, politik, agama, dan sebagainya.
Atas pengaruh Jamaluddin al-Afghani, Abduh juga terlibat dalam kegiatan politik. Pada waktu pemerintah Inggris dan Prancis mulai turut campur dalam pemerintahan Mesir, Afghani melakukan perlawanan. Ia bangkitkan semangat cinta tanah air rakyat Mesir. Kemudian ia bentuk Partai Nasional Mesir.
Karena tidak disukai penguasa Mesir, Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879. Abduh dijatuhi tahanan kota di luar Kairo, tetapi berkat usaha Perdana Menteri Riad Pasya, setahun kemudian ia kembali ke kairo dan tidak lama kemudian diangkat menjadi pemimpin redaksi al-Waqa’i al-Mishriyah, semacam koran negara.
Pada tahun 1884, ia bersama Afghani mendirikan majalah al-Urwatul Wutsqa walaupun umurnya tidak lama. Di tahun 1899 ia diangkat menjadi mufti Mesir sampai wafatnya tahun 1905.
Kehausan Abduh akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk selalu memperluas cakrawala pengetahuannya. Pada usia 44 tahun, ia mempelajari bahasa Prancis untuk mempelajari pengetahuan yang berkembang di Barat. Bahasa itu dapat ia kuasai dengaan baik. Ia melihat bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan Barat, seseorang perlu mengetahui bahasa yang berpengaruh di Eropa. Bahkan ia mengatakan bahwa orang yang tidak mengetahui salah satu bahasa Eropa di zaman modern ini tidaklah bisa disebut ulama.
Setelah mempelajari bahasa Prancis, ia banyak membaca buku-buku Prancis dalam filsafat, sosiologi, pendidikan, ilmu jiwa, etika, matematika, ilmu alam, sejarah, dan pemikiran-pemikiran para orientalis tentang islam.[2][2]
B.     Pemikiran-Pemikiran Muhammad Abduh
Kemajuan dan Kemunduran Umat
Menurut Abduh, sebab yang membawa kemunduran adalah paham jumud yang terdapat di kalangan umat islam. Sikap ini dibawa oleh orang-orang bukan Arab yang kemudian merampas kekuasaan politik dunia islam. Dengan masuknya mereka ke dalam islam, adat istiadat dan animism mereka turut pula mempengaruhi umat islam yang mereka perintah. Disamping itu mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam islam, melainkan berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal pada ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membuka mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohan agar mudah di perintah. Di dalam islam, mereka bawa ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti pujaan yang berlebihan pada syeikh dan wali, kepatuhan buta pada ulama, taklid pada ulama-ulama terdahulu dan tawakal, serta penyerahan segala-galanya pada qada dan qadar. Dengan demikian, mebekulah akal dan berhentilah pemikiran dalam islam.
           Menurut John L. Esposito, landasan utama pemikiran Abduh adalah keyakinan bahwa wahyu dan akal pada dasarnya selaras. Karena akal itu satu dengan fitrah, yang denganya Tuhan telah menjadikan sifat dasar manusia selaras dengan agama. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal yang terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memperoleh jalan yang membawa pada kemajuan, dan pemikiran akan menimbulkan ilmu pengetahuan.
           Ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasarkan hukum alam tidaklah bertentangan dengan islam yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Tuhan, dan wahyu juga berasal dari Allah SWT. karena keduanya berasal dari Tuhan, ilmu pengetahuan yang beradsar pada hukum alam dan islam yang berdasar pada wahyu, tak mungkin bertentangan, dan islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern, begitupun sebaliknya[3][3].
Teologi Abduh
           Dalam bukunya Risalah al-Tauhid[4][4], Abduh menyatakn bahwa manusia mewujudkan perbuatanya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan diatasnya masih ada kekuatan yang lebih tinggi. Analisis penulis Barat menyatakan bahwa kemunduran umat islam akibat paham jabariyah (fatalism) dapat ia setujui, karena di kalangan awam islam, paham yang demikian masih dianut. Paham qada dan qadar telah diselewengkan menjadi fatalme, sedangkan paham itu sebenarnya mengandung paham yang dinamis membawa umat pada kemajuan. Dengan demikian paham fatalisme yang terdapat di kalangan umat perlu di hapuskan dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
           Pendapat Abduh mengenai perbuatan manusia adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang berpikir dan berikhtiar dalam amal perbuatanya menurut petunjuk pikiranya. Dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas karena ia memiliki pikiran untuk menentukan pilihan dalam perbuatanya. Dan pilihan perbuatan yang dilakukan manusia akan menimbulkan konsekuensi, yakni jika perbuatan itu baik diberi pahala, dan jika perbuatan itu jahat pelakunya akan memperoleh siksa. Karena manusia menurut hukum alam atau sunnah Allah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan daya untuk wujudkan kemauan itu, paham perbuatan yang dipaksakan atas manusia atau jabariyah tidak sejalan dengan pandangan Abduh. Manusia menurut Abduh adalah manusia, semata-mata karena ia mempunyai kebebasan dalam memilih. Oleh karena itu, pemberian wujud bagi manusia tidak termasuk paksaan berbuat.
           Wahyu dalam teologi Abduh mempunyai dua fungsi pokok. Fungsi pokok pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh mati. Keyakinan akan adanya hidup kedua setelah hidup pertama ini bukan hasil dari pemikiran yang sesat dari akal dan bukan pula suatu khayalan, karena umat manusia sepakat bahwa jiwa akan tetap hidup sesudah ia meninggalkan tubuh. Fungsi kedua, wahyu mempunyai kaitan yang erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk social. Untuk menatur manusia dengan baik, dikirimlah nabi ke permukaan bumi untuk mengatur hidupnya di dunia dan untuk dapat mengetahui keadaan hidupnya di akhirat nanti.  Dengan demikian wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat dan keadaan hidup manusia disana. Sekalipun semua itu sulit bagi akal untuk memahaminya, tetapi akal dapat menerima adanya hal-hal itu.
           Dalam hal sifat Tuhan, Abduh berpendapat bahwa Tuhan tidak bersifat, sifat bagi Abduh termasuk esensi Tuhan. Kalau Tuhan masih memerlukan sesuatu yang berada di luar dzatnya, yakni sifat-sifat, berate sesuatu yang lebih tinggi dari pada dzat Tuhan. Bagi paham Mu’tazilah, hanya manusia yang berhajat kepada sifat, misalnya ilmu dan lain-lain, karena tidak sempurnanya manusia. Jika Tuhan juga demikian keadaanya, menurut Mu’tazilah, berate Tuhan merupakan dzat yang tidak sempurna karena Ia berhajat kepada ilmu sebagai sifat yang berada di luar dzat-Nya[5][5].
Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh
Pemikiranya dalam bidang pendidikan lebih banyak difokuskan pada masalah menghilangkan dikotonomi pendidikan, menghilangkan kelembagaan pendidikan, pengembangan kurikulum dan metode pengajaran. Adapun gagasanya sebagai berikut[6][6].
1.      Menghilangkan Dikotonomi Pendidikan
Menurut Muhammad Abduh, bahwa diantara factor yang membawa kemunduran dunia islam adalah karena adanya pandangan dikotonomis yang dianut oleh umat islam, yakni dikotonomi atau pertentangan antara ilmu agama dan ilmu umum. Berbagai lembaga pendidikan islam di dunia pada umumnya hanya mementingkan ilmu agama, dan kurang mementingkan ilmu umum. Menurut Muhamad Abduh, corak pendidikan yang demikian itu lebih banyak berdampak negative dalam dunia pendidikan. System madrasah lama akan menghasilkan ahli ilmu agama, sedangkan sekolah pemerintah mengeluarkan tenaga ahli ilmu yang tidak mempunyai visi dan wawasan keagamaan. Keadaan ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia sebelum tahuan 70an. Yakni pada waktu itu madrasah yang bernaung dibawah Departemen (sekarang kementrian) agama hanya mengajarkan ilmu agama, sedangkan sekolah yang berada di bawah kementrian Pendidikan Nasional kurang mementingkan agama.
Untuk mengatasi masalah dikotonomi yang demikian itu, Muhammad Abduh mengusulkan agar dilakukan lintas disiplin ilmu antar kurukulum madrasah dan sekolah, sehingga jurang pemisah antara kaum ulama dan ilmuan modern akan hilang. Gagasanya ia terapkan di Universitas Al-Azhar, yaitu dengan melakukan penataan kembali struktur pendidikan di Al-Azhar, yang kemudian dilanjutkan pada lembaga pendidikan yang berada di Thanta, Dassus, Dimyat, Iskandariyah, dan lainya. Dengan usahanya ini, berharap berbagai lembaga pendidikan di Negara lainya dapat mengikutinya, karena Universitas Al-Azhar pada waktu itu merupakan lembang dan panutan pendidikan di Mesir khusunya, dan di dunia islam pada umumnya.
2.      Pengembangan Kelembagaan Pendidikan
Dalam upayanya mengembangkan kelembagaan pendidikan, Muhammad Abduh mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai bidang yang dibutuhkan, yaitu bidang administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Melalui berbagai lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh berupaya memasukkan pelajaran agama, sejarah dan kebudayaan islam.
Selain itu, madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan Al-Azhar, Muhammad Abduh menganjarkan ilmu Manthiq, Falsafah dan Tauhid. Hal ini merupakan gagasan baru, karena sebelumnya Al-Azhar memandang ilmu Manthiq dan Falsafah itu sebagai barang haram. Selain itu, di rumahnya Muhammad Abduh juga mengajarkan kitab Tahzib al-Akhlaq karangan Ibn Maskawih, serta kitab Sejarah Peradaban Eropa yang telah di terjemahkan kedalam bahasa Arab, karangan seorang Prancis dengan judul al-Tuhfat al-Adaabiyah fi Tarikh Tamaddun al-Mamalik al-Awribiyah.
3.      Pengembangan Kurikulum
Muhammad Abduh melakukan pengembangan kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Kejuruan, serta Universitas di Al-Azhar. Pengembangan tersebut dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut.
a.       Pengembangan Kurikulum Sekolah Dasar
Menurut Muhammad Abduh bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dilakukan sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama agar dijadikan pelajaran wajib pada semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa dan pribadi muslim, maka rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang selanjutnya dapat menjadi dasar bagi pengembangan sikap hidup yang lebih baik , dan sekaligus dapat meraih kemajuan[7][7].
b.      Pengembangan Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan
Pengembangan Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan dilakukan dengan memasukan mata pelajaran Manthiq dan Falsafah yang sebelumnya tidak boleh di ajarkan. Selain itu, dimasukan pula pelajaran tentang sejarah dan peradaban islam dengan tujuan agar umat islam dapat mengetahui berbagai kemajuan dan keunggulan yang pernah di capai dunia islam di masa silam, sebagai pemicu bagi lahirnya kebanggan terhadap islam serta semangat untuk membangun kembali kejayaan umat islam.
c.       Pengembangan Kurikulum  Universitas Al-Azhar
Pengembangan Kurikulum Universitas Al-Azhar dilakukan dengan cara menyesuaikan kebutuhan masyarakat pada waktu itu dengan para lulusan pendidikan, yakni orang-orang yang dapat berpikir kritis, komperhesif, progrsif, dan seimbang tentang ajaran islam, yaitu para ulama yang intelek atau dengan kata lain menjadi ulama yang modern. Berkaitan dengan ini, maka Muhammad Abduh mengusulkan untuk dimasukanya mata kuliah filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern kedalam kurikulum Universitas Al-Azhar.
4.      Pengembangan Metode Pengajaran
Menurut Muhammad Abduh bahwa metode pengajaran yang selama ini hanya mengandalkan hafalan perlu di lengkapi dengan metode rasional dan pemahaman (insight). Dengan demikian, di samping para siswa menghafal suatu bahan pengajaran, juga dapat memahaminya dengan kritis, objektif dan komperhesif. Berkenaan dengan ini, Muhammad Abduh mengusukan agar menghidupkan kembali metode munadzarah (diskusi) dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan diri dari metode taklid buta terhadap para ulama. Selain itu, juga mengembangkan kebebasan ilmiah di kalangan Mahasiswa Al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya menjadi ilmu yang tidak berkembang menjadi ilmu yang berkembang dan dapat dipergunakan untuk menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern ke dalam bahasa Arab[8][8].
                                                  


                                                  KESIMPULAN
           Berdasarkan uraian pada pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :
Pertama, Muhammad Abduh dapat di kategorikan sebagai ulama yang intelek atau ulama modern yang berupaya ingin memajukan dengan mengembalikan kembali kejayaan umat islam agar siap menghadapi tantangan zaman, dengan cara menijau kembali pemahaman ajaran islam agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedua, disamping memiliki perhatian terhadap masalah ummat dan teologi, Muhammad Abduh juga memiliki perhatian yang besar dalam dunia pendidikan.
Ketiga, menurut Muhammad Abduh alasan kemunduran umat adalah karena paham jumud dan keyakinan yang salah mengenai qada dan qadar, dan untuk membebaskan umat islam dari kemunduran inilah Abduh menggagaskan untuk memfungsikan akal dan wahyu untuk membebaskan diri dari taklid yang berlebihan.
           Keempat, pandangan Abduh mengenai teologi bahwasanya manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya dalam berbuat. Ia berhak atas dirinya sendiri, dia (manusia) akan memperoleh pahala bila memilih menjadi baik, dan akan mendapat siksa bila ia memilih perbuatan buruk. Baginya, wahyu dan akal tidaklah bertentangan, fungsi wahyu disini adalah untuk menjelaskan hal-hal yang sulit di terima oleh akal.
Kelima, gagasan dan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan antara lain berkenaan dengan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern, pembaruan dan pengembangan kelembagaan pendidikan, pengembangan kurikulum dan metode pengajaran


                                                    Daftar Pustaka

Nata, Abbudin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Aziz, Ahmad Amir. 2009. PEMBARUAN TEOLOGI : Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman. Yogyakarta : Teras.
Nasution, Harun. 1975.  Pembaruan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Saefuddin, Didin. 2003.  Pemikiran Modern dan Postmodern Islam : Biografi Intelektual 17 Tokoh. Jakarta : PT Grasindo.
Sani, Muhammad. 1998. Lintas Sejarah Pemikiran Modern dalam Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

.



[1][1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 49-50.
[2][2] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Post Modern, PT Grasindo, Jakarta, 2003, hlm. 19-21.
[3][3] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam : Biografi Intelektual 17 Tokoh, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), hlm.21-23.
[4][4] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta : Bulan Bintang, 1989), hlm.41.
[5][5] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam : Biografi Intelektual 17 Tokoh, (Jakarta: PT Grasindo, 2003), hlm.24-28.
[6][6] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.308-309.
[7][7] Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.53.
[8][8] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.311-312.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar